in memoriam Yohanes Budiono
(Arikawa Ong Eng Gie)
3 Feb 1943 - 12 Mar 2021
Pukul setengah tujuh pagi. Sudah hampir tiga jam lelaki tua itu
duduk di bangku ruang tamu rumahnya. Sinar mentari pagi menerobos genting
kaca, melalui sarang laba laba di plafon yang sengaja dilubangi. Seekor
Love bird dalam sangkar tergantung di plafon, tidak jauh dari lubang cahaya
itu. Kicauannya menjadi teman si lelaki tua. Selain angin pagi.
"Haiii." Begitu si lelaki tua menjawab sapaan
burung.
Kata ini adalah satu dari sedikit kenangan yang melahirkan luka.
Sehingga kini hidupnya hanya berputar antara kasur, bangku dengan cat
pelitur, istrinya, dan beberapa orang aneh yang belakangan muncul.
Semasa mudanya dia adalah lelaki penuh semangat. Setiap hari dia
adalah penentram hati istri dan anak-anaknya dalam menjalani cerita kehidupan.
Dia yang setia dari pagi buta sampai
petang menjaga warung kecil. Setiap hari, tanpa berhenti.
Dikala ada anaknya yang sakit, dia selalu menyemangatinya dengan
mendongeng. Cerita favoritnya adalah penggalan Kisah Mahabarata dan Ramayana.
Mungkin dia berharap anak-anaknya kelak bisa meneladan kebijaksanaan tokoh-tokohnya.
"Tidak ada yang susah Nak. Jangan menyerah !"
“Kamu harus jadi anak pintar, biar tidak ditindas.”
Begitu nasehat kepada anak laki lakinya. Kepada anak
perempuannya, dia begitu manyayangi dan melindungi nya sepenuh hati.
Bagi anak-anaknya, dia serupa dewa yang tiada cacat.
Tetapi itu dulu, puluhan tahun yang lalu.
“Ayo dikunyah cepetan. Jangan di mut terus.
Mulutnya digerakan”
“Habis itu nanti minum obat nya. Itu obat dikirim Dani dan Dara
kemarin. Kalau tidak dimakan nanti aku di komplen.”
Istrinya berusaha dengan sabar melayani pria tua ini. Persediaan
kesabarannya sering habis. Dia merasa kenapa di masa tuanya tidak bisa
menikmati kebahagiaan, seperti cerita tetangganya. Seperti cerita di sinetron-sinetron
di TV. Sementara dia harus dihukum merawat suaminya yang sakit, tanpa daya. Tentu
saja dia mencintai lelaki ini. Paling tidak, dia pernah begitu mencintainya.
Tetapi tetap kejenuhan kerap melanda. Kapan semua ini berakhir. Hidup terasa
tidak adil baginya.
Mereka memiliki 3 anak. Semuanya sudah berkeluarga. Dani dan
Dara tinggal di kota yang jauhnya 5 jam perjalanan dengan kereta. Karena
kesibukannya mereka jarang pulang. Dita, anak kedua, tinggal di kota yang sama
dan masih sering berkunjung. Kunjungan anak-anak selalu membawa kebahagiaan. Gairah
kehidupan memang milik manusia muda. Sayangnya waktu kelewat cepat meminjamkan masa muda itu.
Lelaki tua ini terlalu sering lupa. Lupa yang keterlaluan.
“Tadi pagi makan apa ?”
“Tadi malam siapa yang datang ke sini ?”
Ini pertanyaan yang membuatnya frustasi, karena ia benar-benar
lupa. Tidak ada yang tersisa di otaknya atas kejadian yang baru terjadi.
Pria itu menatap istrinya dalam-dalam, ada banyak kata-kata di
benaknya tidak mampu terucapkan. Entah mengapa semua berhenti di pangkal lidahnya.
Demikian juga tangan dan kakinya kaku dan lemah. Ia masih bisa berjalan, tetapi
tertatih dan lambat. Hilang semua kuasa nya atas lidah, tangan dan kakinya. Oleh karenanya persaaannya sering galau dan
kacau. Apa gunanya hidup begini. Ia tahu istrinya kerepotan mengurus dirinya. Mungkin
mati lebih enak ? Tetapi apakah mati itu sakit ?
Tiba-tiba dia lihat laki-laki berbadan gelap dan berwajah ketus
itu lewat lagi sambil menunjuk dirinya. Tadi
pagi, saat dia baru duduk di bangkunya, lelaki lain yang bertampang ramah yang
lewat. Mereka berjalan dari arah luar melewati ruang tamu, berjalan ke arah
belakang.
“Iiiitu ada orang.” Katanya susah payah kepada istrinya.
Istrinya hanya menggeleng geleng kan kepala, lalu pergi keluar.
“Saya tunggu sebentar lagi ya, kemasin semua barang yang ingin
kaubawa. Waktumu tidak banyak” Lelaki berbadan gelap yang tiba-tiba berdiri
didepannya. Ketus sekali.
Lelaki tua itu menatap dengan sayu. Ia bertanya dalam hati,
sambil menatap pria asing itu.
“Memang kau akan ajak aku kemana, naik apa, dan berapa lama ?
Aku sudah sulit berjalan. Lagipula aku harus ijin istriku. Dan kalau perginya lama,
aku harus kasih tahu juga anak-anaku. “
Sebenarnya ada yang mengajak pergi adalah hal yang menyenangkan.
Ia mulai bosan dengan hari-harinya yang hanya berisi kamar dan bangku saja. Tetapi
meninggalkan rumah mendadak ? istri dan anaknya akan mencari-cari nanti. Paling
tidak dia tidak mau membuat mereka cemas.
“Kau tidak usah banyak bertanya. Nanti juga tahu.”
“Beri dia waktu kawan”
orang asing yang lain, si wajah ramah, tiba-tiba datang.
“Kau masih mau disini ? Pemilik waktu yang meminta kami untuk
menjemputmu.”
Pemilik waktu ? Apakah waktuku sudah habis ? Dulu ia sudah mengambil
masa mudaku begitu saja, ditukar dengan tubuh tua yang sakit-sakitan ini.
“Bilang ke tuan mu. Disana aku harus melakukan apa ? Apa dia
punya obat untuk menyembuhkan ku ?”
Tiba-tiba HP diatas meja berdering. Dia berusaha mengambilnya.
Susah sekali tangannya digerakan. Akhirnya dia bisa meraih, tetapi jarinya
tidak bisa menyentuh dengan tepat tombol telepon berwarna hijau itu. Jari
telunjuknya selalu bergetar. Dia nyaris putus asa. Dia ingin segera menceritakan
hal mengenai tamu aneh ini ke anak-anaknya, sebelum dia lupa.
“Ada yang telepon ya ?” istrinya
tiba dari pasar. Diambilnya HP dari tangan suaminya. Ternyata panggilan video
call dari Dara.
“Halo Bu, gimana kabar Bapak, sedang apa dia ?” Dara tersenyum
di layar HP.
“Halo Dara. Ini Bapak sedang duduk. Sebentar,,”
“Aku add call yang lain juga Bu”
Istri lelaki tua itu
menyorongkan layar HP kehadapan suaminya.
“Halo Bapak, apa kabar ?” senyum Dani, Dita dan Dara menyapa.
“Haiiiii ! ” kali ini
kata ini terucapkan oleh si lelaki tua dengan senyum. Ia berusaha menikmati
wajah anak-anaknya sepuasnya. Wajah masa mudanya. Sesekali tampak cucunya
ikutan nimbrung.
“Sedang apa Pak ? Sudah makan belum ?”
Lelaki tua itu menatap istrinya, meminta bantuan untuk menjawab
karena dia tidak yakin akan jawabannya.
“Sudah tadi pagi. Tetapi lama sekali makannya. Itu juga tidak
habis” istrinya yang menjawab.
“Kemarin Dara ke dokter langganan Bapak. Dia berbaik hati untuk
melayani konsultasi, tanpa Bapak harus hadir. Karena memang kondisinya sedang
sulit saat ini. Menurut Dokter, obat Bapak dosisnya sudah saat nya dinaikkan.”
“Oo, pantesan, belakangan Bapakmu semakin lemah. Hampir tidak
kuat jalan. Juga berkali-kali ngomong nya ngaco. Katanya dia melihat ada orang asing”
“Lha, Dokter memang mengatakan bahwa, kemungkinan akan ada efek
halusinasi dalam kondisi seperti ini Bu.
Ok, besok obatnya Dara tebus dan kirim ke sana ya. Harus diminum teratur
Bu”
Lelaki tua itu menatap istri, dan anaknya bergantian. Dia tidak
tahu persis perasaannya. Sebentar-sebentar dia melirik pintu. Utusan pemilik waktu masih berdiri disana.
Kemudian si Ketus berjalan kearahnya.
“Beri aku waktu sebentar. Aku masih mengobrol dengan
anak-anakku, masa mudaku. Lagipula engkau belum menjawab pertanyaanku.” Ujarnya dalam hati. Kedua orang asing ini
bisa membaca suara hati-nya.
“Pak, kenapa diam saja, apa laper ?” tanya Dara.
“Ituuuu. Adaa orang.” Lelaki tua itu menunjuk lemah kearah
pintu.
“Siapa Pak, dimana?” tanya Dani
Lelaki tua itu hanya menunjukkan tangannya ke arah pintu.
Istrinya tidak melihat siapa pun disana.
“Ya, begini ini Bapak mu beberapa hari ini, suka ngaco
bicaranya.”
Lelaki tua itu menatap lama ke arah pintu, ke arah kedua sosok
itu.
“Kau belum menjawab pertanyaan ku. Disana aku harus melakukan
apa, dan apa tuan mu bisa mengobatiku.”
“Kau tak perlu obat, tidak ada penyakit yang mampu tinggal
disana. Kau akan melewatkan waktu bersama tuan ku. Rencana berikutnya, tuanku
yang akan menentukan. Jangan khawatir, beliau sangat bijaksana.”
“Apakah aku masih bisa bertemu keluargaku?”
“Kau masih bisa melihat mereka, tentu saja. Tetapi mereka hanya
bisa melihatmu saat tidur.”
“Baiklah, aku ikut.”
Video call itu belum terakhir manakala istri dan anak-anak
lelaki tua itu masih menunggu jawaban Bapaknya, yang menatap ke arah pintu, wajahnya
tersenyum, tatapan matanya meredup. Dia tidak bergerak sama sekali.
|
In Memoriam - 12 Maret 21 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar