Sabtu, 27 Maret 2021

Perpisahan Cinta Sepeda

kenangan kota tua 

Tanggal 4 Maret 1988, bulan bersinar terang sekali, langit tanpa awan. Angin dingin bulan Maret menyapu wajahnya. Wajah yang seterang bulan diatas, dengan mata tajam dibawah alis hitam yang lebat. Rambutnya berkibar mengikuti angin. Malam itu, ditengah acara budaya merayakan musim panen, kami menjauh menyendiri menikmati nyanyian malam. Orang bilang, keindahan nyanyian malam hanya dapat dinikmati dalam sunyi. Dan itu benar. 

“Kok diam saja, cepetan bicara, nanti keburu waktu habis waktu kita. “ katamu sambil tersenyum. Senyum yang selalu menawan hatiku. Dan tinggal lama di sana.

 Aku menjawab dengan senyuman balik, berharap senyumku pun bisa terpatri dihatinya. Kak Fajar,  ada ribuan hal yang ingin aku obrol kan. Tetapi menikmati malam berdua seperti ini, hatiku kelewat bahagia, dan tidak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaan itu.

 “Kau tahu kan, waktu selalu cepat berlalu, ketika kita bersama. Ucapkan sesuatu lewat bibir pualam mu.” katamu menggoda. Dia selalu memuji bibirku sebagai pualam. Aku tidak pernah melihat pualam, tapi aku tahu itu adalah sesuatu yang indah. Tentu saja aku senang mendengar nya.

 Matamu menatap tajam. Tatapan yang bersama senyuman itu, menjajah pikiranku sebelum tidur. Dan datang lagi dipagi harinya, membangunkan tidur ku.

 “Aku tidak tahu mau ngomong apa, Kak.”

“Ya sudah, Han. Kumpulkan cerita nya buat besok. Kita nikmati saja angin malam dan suara daun sepuasnya”  

 Lalu, kau menggapai telapak tanganku dan kita saling menggenggam tangan, bersandar di pagar pembatas rel kereta api. Didepan kita, rumpun pohon bambu menatap iri. Aku merasa seperti berada di surga.  Kereta api lewat. Artinya sudah lebih dari pukul delapan malam. Saatnya kembali ke keramaian. Mama dan Papa pasti sudah menunggu.

 ***

 Kak Fajar adalah murid pintar di sekolah. Dia langganan juara kelas. Saat ini dia kelas 3 SMP, sedangkan aku kelas 1. Kami menjalani kisah cinta yang kepagian, cinta anak SMP. Cinta monyet barangkali, bodo amat, apa pun namanya. Aku hanya mengikuti irama hati. Suara hati adalah suara Tuhan. Begitu kata Guru Agama ku dulu.

 Semua berawal ketika di masa orientasi SMP.  Kak Fajar, sebagai ketua OSIS, sibuk sebagai panitia di berbagai acara penyambutan Karenanya dia cukup populer di kalangan anak-anak baru kelas1, termasuk aku.

 Aku tinggal sekitar 10km dari sekolah ini. Pulang pergi naik angkot.  Jaman itu di daerah kami, kebanyakan anak sekolah ya naik sepeda genjot, atau angkot.  Segelintir anak naik sepeda motor.

 Siang itu sepulang sekolah seperti biasa aku dan Tami naik angkot. Tami adalah teman sebangku ku, dan rumah kami berdekatan.

 “Halo Hani. ” aku terkejut, ternyata Kak Fajar naik angkot yang sama. Dan dia tahu nama ku.

“Halo juga Kak” ujar ku.

“Lho Kakak juga naik angkot  jurusan yang sama ya. Berarti rumah kita deketan dong”  Tami menimpali dengan semangat.

 “Iya lah, masa Kak Fajar naik angkot cuman buat nganter kita.” kata ku, dan kita tertawa bersama.

 Selanjutnya kita beberapa kali pulang satu angkot. Saling bertukar pandang.

 “Kak, nanti siang main dong. Aku tunggu di rumah Hani ya, jam 2” Tami teman sebangku ku ini pro-aktif banget anaknya.  Aku dan Tami memang ingin mengajak Kak Fajar main bareng ke rumah. Sepertinya anaknya asik, cool. Lagian kan bisa belajar bareng juga.

 Itu awal Kak Fajar main ke rumah ku.  Kami selalu ketemuan bersama di ruang tamu rumahku.   Dari jam 2 sampai jam 4 atau 5 sore. Sampai Mama ku kembali dari toko.

 “Waduh Mama mu pulang Han, aku takut nih “  kata mu saat itu.

“Gak pa pa kok.”

“Aku harus panggil dia apa nih”

“Panggil aja Mama.” Kataku iseng sambil tertawa melihat Kak Fajar canggung begitu.

“Cieeee..” Tami menggoda. 

 Aku baru sadar salah bicara.

 “Selamat sore, Tante.”

Ternyata kamu cukup sigap mengatasi rasa canggung itu. Dan untung tidak mengikuti candaan ku.  Mama ku hanya tersenyum dan mengangguk, dan berjalan ke dapur.

 “Ujian pertama lewat” katanya setelah itu dengan lega.

“Tenang saja kak, Mama ku baik kok. Nanti juga biasa.”

 Sampai suatu saat, sebelum pulang, tanpa sepengetahuan Tami, Kak Fajar menitipkan surat.

 “Baca nya nanti ya” katanya, sambil tersenyum.  

 Perasaan ku tidak jelas, penasaran. Tetapi terbesit rasa hangat di hati ini.   

 Sore itu, setelah makan malam,  kubuka surat itu di dalam kamar. Suratnya dilipat dengan rapi. Bentuk lipatannya persegi panjang, dengan ujung kertas dijepitkan di ujung yang satu. Terkunci, tanpa dilem. Darimana Kak Fajar belajar melipat seperti ini, bagus sekali. Kertas nya harum pula.

 Kulihat tulisan tangannya dengan tinta warna biru. Aku tahu dia menulis dengan hati. Tidak ada salah tulis, tidak ada hapusan tip ex.

 “Dear Hani,

Sejak melihat mu di pekan orientasi saat itu, Kakak dihinggapi perasaan aneh. Ditambah lagi sering ketemu kamu, di angkot, dan dirumahmu.  Sepertinya jiwa Kakak terperangkap di kedalaman matamu. Senyum bibir pualam mu menyandera pikiran Kakak. Ketika tidak dengan mu, gelombang rindu membara di dada.

 Kakak suka sama kamu.

 Kak Fajar”

 Aku merasakan malam itu seluruh alam raya bergembira, menyanyi bersamaku. Aku tidak sabar menunggu hari esok. Sebetulnya yang dituliskan Kak Fajar juga mewakili isi jiwaku.

 Selanjutknya hari-hari indah kami lalui. Hampir setiap hari, kecuali saat ujian sekolah Kak Fajar selalu datang dengan sepeda jengki warna biru nya, main ke rumah, untuk melewatkan waktu, merajut kebahagiaan. Tami merasakan ada hal yang istimewa dalam hubungan Kak Fajar dengan ku. Dia turut senang, sekaligus memberi waktu lebih banyak untuk kami.

 Waktu selalu terasa cepat ketika kami bersama. Semua kenangan itu seperti puisi paling indah yang pernah ada.

 ***

 Pukul 2 siang, aku berdiri di pintu rumahku menunggu Kak Fajar. Pintu rumah ku terdiri dari 2 bagian, atas dan bawah, Pintu bagian bawah setinggi dada, aku menyilangkan kedua tangan ku bersender diatas pintu ini, memandang ke ujung jalan di sisi kiri, menunggu mu.

 Dan kau tidak pernah ingkar janji.

  “Gimana Han, tadi bisa tidak ulangannya ?”

“Bisa dong Kak. Siapa dulu yang ngajarin “

 “Han, selesai SMP, Kakak kemungkinan akan melanjutkan SMA di kota lain. Mau cari sekolah yang lebih baik, dan supaya lebih mandiri. Menyiapkan masa depan yang lebih baik. Hanya saja setiap kali memikirkan hal itu, Kakak merasa seperti berada di lembah sunyi yang dikelilingi tebing tinggi, dikungkungi langit gelap”

 Aku terdiam. Badan ku menjadi lemas, semangatku terbang.

 “Kemana, Kak ?” suara ku nyaris tak terdengar. Aku ingin membeli rantai besar dan mengikatmu erat disampingku, selamanya.  

 “Kita masih bisa surat-suratan kan” kata mu.

 “Iya sih. Tapi kehadiran Kakak tidak bisa digantikan oleh secarik surat.”

 “Iya, sama, Han. Kamu tahu kan, setiap liburan, saat kamu harus ikut Mama Papa mu ke rumah Oma di Jakarta, itu saja sudah siksaan buat Kakak. Tidak bisa ketemu, ngobrol. Tidak tahu kabar. Apa lagi ini.”

 Aku memang selalu diajak Papa Mama bersama adik ku, liburan ke rumah Oma Opa di Jakarta ketika liburan. Tidak ada pilihan bagiku selain ikut. Karena yang lain ikut semua dan aku tidak mungkin tinggal sendirian di rumah. Sebetulnya itu juga berat buat ku.

 “Tapi ini penting untuk masa depan nanti. Aku ingin menjadi orang yang berhasil, dan berguna, Han. Aku cukup bersyukur mengalami semua keindahan bersama mu. Jalan kita masih Panjang. Kita masih diam di bumi yang sama. Kita masih bisa bertemu lagi, dan melanjutkan cerita ini.”

 Aku hanya terdiam. Mungkin yang dia katakan benar. Melanjutkan cerita ini? Aku tidak tahu. Kata Mama ku, jalan kehidupan itu rumit dan sulit diduga ujungnya. Apa yang kita rencanakan belum tentu terjadi. Apa yang terjadi, belum tentu yang kita rencanakan. Sore itu, pelangi di langit jingga tidak mampu mengembalikan semangatku.

 Tanggal 22 Juli 1988 – Aku menerima surat pertama yang kau kirimkan dari kota mu.


DI Panjaitan, dekat Prapatan Tumpuk


Lelaki Tua & Pemilik Waktu

 

in memoriam Yohanes Budiono

(Arikawa Ong Eng Gie)

 3 Feb 1943 - 12 Mar 2021

Pukul setengah tujuh pagi. Sudah hampir tiga jam lelaki tua itu duduk di bangku ruang tamu rumahnya. Sinar mentari pagi menerobos  genting kaca, melalui sarang laba laba di plafon yang sengaja dilubangi.  Seekor Love bird dalam sangkar tergantung di plafon, tidak jauh dari lubang cahaya itu. Kicauannya menjadi teman si lelaki tua. Selain angin pagi. 

 "Haiii." Begitu si lelaki tua menjawab sapaan burung. 

 Kata ini adalah satu dari sedikit kenangan yang melahirkan luka. Sehingga kini hidupnya hanya berputar antara kasur, bangku dengan cat pelitur, istrinya, dan beberapa orang aneh yang belakangan muncul. 

Semasa mudanya dia adalah lelaki penuh semangat. Setiap hari dia adalah penentram hati istri dan anak-anaknya dalam menjalani cerita kehidupan. Dia yang setia  dari pagi buta sampai petang menjaga warung kecil. Setiap hari, tanpa berhenti.  

Dikala ada anaknya yang sakit, dia selalu menyemangatinya dengan mendongeng. Cerita favoritnya adalah penggalan Kisah Mahabarata dan Ramayana. Mungkin dia berharap anak-anaknya kelak bisa meneladan kebijaksanaan tokoh-tokohnya.

"Tidak ada yang susah Nak. Jangan menyerah !"

“Kamu harus jadi anak pintar, biar tidak ditindas.”

Begitu nasehat kepada anak laki lakinya. Kepada anak perempuannya, dia begitu manyayangi dan melindungi nya sepenuh hati.

Bagi anak-anaknya, dia serupa dewa yang tiada cacat.

 Tetapi itu dulu, puluhan tahun yang lalu.

 “Ayo dikunyah cepetan. Jangan di mut terus. Mulutnya digerakan”

“Habis itu nanti minum obat nya. Itu obat dikirim Dani dan Dara kemarin. Kalau tidak dimakan nanti aku di komplen. 

 Istrinya berusaha dengan sabar melayani pria tua ini. Persediaan kesabarannya sering habis. Dia merasa kenapa di masa tuanya tidak bisa menikmati kebahagiaan, seperti cerita tetangganya. Seperti cerita di sinetron-sinetron di TV. Sementara dia harus dihukum merawat suaminya yang sakit, tanpa daya. Tentu saja dia mencintai lelaki ini. Paling tidak, dia pernah begitu mencintainya. Tetapi tetap kejenuhan kerap melanda. Kapan semua ini berakhir. Hidup terasa tidak adil baginya.

 Mereka memiliki 3 anak. Semuanya sudah berkeluarga. Dani dan Dara tinggal di kota yang jauhnya 5 jam perjalanan dengan kereta. Karena kesibukannya mereka jarang pulang. Dita, anak kedua, tinggal di kota yang sama dan masih sering berkunjung. Kunjungan anak-anak selalu membawa kebahagiaan. Gairah kehidupan memang milik manusia muda. Sayangnya waktu  kelewat cepat meminjamkan masa muda itu.

 Lelaki tua ini terlalu sering lupa. Lupa yang keterlaluan.

 “Tadi pagi makan apa ?”

“Tadi malam siapa yang datang ke sini ?”

 Ini pertanyaan yang membuatnya frustasi, karena ia benar-benar lupa. Tidak ada yang tersisa di otaknya atas kejadian yang baru terjadi.  

 Pria itu menatap istrinya dalam-dalam, ada banyak kata-kata di benaknya tidak mampu terucapkan. Entah mengapa semua berhenti di pangkal lidahnya. Demikian juga tangan dan kakinya kaku dan lemah. Ia masih bisa berjalan, tetapi tertatih dan lambat. Hilang semua kuasa nya atas lidah, tangan dan kakinya.  Oleh karenanya persaaannya sering galau dan kacau. Apa gunanya hidup begini. Ia tahu istrinya kerepotan mengurus dirinya. Mungkin mati lebih enak ? Tetapi apakah mati itu sakit ?

 Tiba-tiba dia lihat laki-laki berbadan gelap dan berwajah ketus itu lewat lagi sambil menunjuk dirinya.  Tadi pagi, saat dia baru duduk di bangkunya, lelaki lain yang bertampang ramah yang lewat. Mereka berjalan dari arah luar melewati ruang tamu, berjalan ke arah belakang.

 “Iiiitu ada orang.” Katanya susah payah kepada istrinya.

 Istrinya hanya menggeleng geleng kan kepala, lalu pergi keluar.

 “Saya tunggu sebentar lagi ya, kemasin semua barang yang ingin kaubawa. Waktumu tidak banyak” Lelaki berbadan gelap yang tiba-tiba berdiri didepannya. Ketus sekali.

 Lelaki tua itu menatap dengan sayu. Ia bertanya dalam hati, sambil menatap pria asing itu.

 “Memang kau akan ajak aku kemana, naik apa, dan berapa lama ? Aku sudah sulit berjalan. Lagipula aku harus ijin istriku. Dan kalau perginya lama, aku harus kasih tahu juga anak-anaku. “

Sebenarnya ada yang mengajak pergi adalah hal yang menyenangkan. Ia mulai bosan dengan hari-harinya yang hanya berisi kamar dan bangku saja. Tetapi meninggalkan rumah mendadak ? istri dan anaknya akan mencari-cari nanti. Paling tidak dia tidak mau membuat mereka cemas.

 “Kau tidak usah banyak bertanya. Nanti juga tahu.”

 “Beri dia waktu kawan”

orang asing yang lain, si wajah ramah, tiba-tiba datang.

“Kau masih mau disini ? Pemilik waktu yang meminta kami untuk menjemputmu.”

 Pemilik waktu ? Apakah waktuku sudah habis ? Dulu ia sudah mengambil masa mudaku begitu saja, ditukar dengan tubuh tua yang sakit-sakitan ini.

 “Bilang ke tuan mu. Disana aku harus melakukan apa ? Apa dia punya obat untuk menyembuhkan ku ?”

 Tiba-tiba HP diatas meja berdering. Dia berusaha mengambilnya. Susah sekali tangannya digerakan. Akhirnya dia bisa meraih, tetapi jarinya tidak bisa menyentuh dengan tepat tombol telepon berwarna hijau itu. Jari telunjuknya selalu bergetar. Dia nyaris putus asa. Dia ingin segera menceritakan hal mengenai tamu aneh ini ke anak-anaknya, sebelum dia lupa.

 “Ada yang telepon ya ?”  istrinya tiba dari pasar. Diambilnya HP dari tangan suaminya. Ternyata panggilan video call dari Dara.

 “Halo Bu, gimana kabar Bapak, sedang apa dia ?” Dara tersenyum di layar HP.

“Halo Dara. Ini Bapak sedang duduk. Sebentar,,”

 “Aku add call yang lain juga Bu”

 Istri  lelaki tua itu menyorongkan layar HP kehadapan suaminya.

 “Halo Bapak, apa kabar ?”  senyum Dani, Dita dan Dara menyapa.

“Haiiiii ! ”  kali ini kata ini terucapkan oleh si lelaki tua dengan senyum. Ia berusaha menikmati wajah anak-anaknya sepuasnya. Wajah masa mudanya. Sesekali tampak cucunya ikutan nimbrung.

 “Sedang apa Pak ? Sudah makan belum ?”

 Lelaki tua itu menatap istrinya, meminta bantuan untuk menjawab karena dia tidak yakin akan jawabannya.

 “Sudah tadi pagi. Tetapi lama sekali makannya. Itu juga tidak habis” istrinya yang menjawab.

 “Kemarin Dara ke dokter langganan Bapak. Dia berbaik hati untuk melayani konsultasi, tanpa Bapak harus hadir. Karena memang kondisinya sedang sulit saat ini. Menurut Dokter, obat Bapak dosisnya sudah saat nya dinaikkan.”

 “Oo, pantesan, belakangan Bapakmu semakin lemah. Hampir tidak kuat jalan. Juga berkali-kali ngomong nya ngaco.  Katanya dia melihat ada orang asing”

 “Lha, Dokter memang mengatakan bahwa, kemungkinan akan ada efek halusinasi dalam kondisi seperti ini Bu.  Ok, besok obatnya Dara tebus dan kirim ke sana ya. Harus diminum teratur Bu”

 Lelaki tua itu menatap istri, dan anaknya bergantian. Dia tidak tahu persis perasaannya. Sebentar-sebentar dia melirik pintu.  Utusan pemilik waktu masih berdiri disana. Kemudian si Ketus berjalan kearahnya.

 “Beri aku waktu sebentar. Aku masih mengobrol dengan anak-anakku, masa mudaku. Lagipula engkau belum menjawab pertanyaanku.”  Ujarnya dalam hati. Kedua orang asing ini bisa membaca suara hati-nya.

 “Pak, kenapa diam saja, apa laper ?” tanya Dara.

“Ituuuu. Adaa orang.” Lelaki tua itu menunjuk lemah kearah pintu.

“Siapa Pak, dimana?” tanya Dani

 Lelaki tua itu hanya menunjukkan tangannya ke arah pintu. Istrinya tidak melihat siapa pun disana.

 “Ya, begini ini Bapak mu beberapa hari ini, suka ngaco bicaranya.”

 Lelaki tua itu menatap lama ke arah pintu, ke arah kedua sosok itu.

“Kau belum menjawab pertanyaan ku. Disana aku harus melakukan apa, dan apa tuan mu bisa mengobatiku.”

 “Kau tak perlu obat, tidak ada penyakit yang mampu tinggal disana. Kau akan melewatkan waktu bersama tuan ku. Rencana berikutnya, tuanku yang akan menentukan. Jangan khawatir, beliau sangat bijaksana.”

 “Apakah aku masih bisa bertemu keluargaku?”

 “Kau masih bisa melihat mereka, tentu saja. Tetapi mereka hanya bisa melihatmu saat tidur.”

 “Baiklah, aku ikut.”

 Video call itu belum terakhir manakala istri dan anak-anak lelaki tua itu masih menunggu jawaban Bapaknya, yang menatap ke arah pintu, wajahnya tersenyum, tatapan matanya meredup. Dia tidak bergerak sama sekali.

  

In Memoriam - 12 Maret 21