kenangan kota tua
Tanggal 4 Maret 1988, bulan bersinar terang sekali, langit tanpa
awan. Angin dingin bulan Maret menyapu wajahnya. Wajah yang seterang bulan
diatas, dengan mata tajam dibawah alis hitam yang lebat. Rambutnya berkibar mengikuti
angin. Malam itu, ditengah acara budaya merayakan musim panen, kami menjauh
menyendiri menikmati nyanyian malam. Orang bilang, keindahan nyanyian malam
hanya dapat dinikmati dalam sunyi. Dan itu benar.
“Kok diam saja, cepetan bicara, nanti keburu waktu habis waktu
kita. “ katamu sambil tersenyum. Senyum yang selalu menawan hatiku. Dan tinggal
lama di sana.
Aku menjawab dengan senyuman balik, berharap senyumku pun bisa terpatri
dihatinya. Kak Fajar, ada ribuan hal
yang ingin aku obrol kan. Tetapi menikmati malam berdua seperti ini,
hatiku kelewat bahagia, dan tidak ada kata-kata yang bisa mewakili perasaan
itu.
“Kau tahu kan, waktu selalu cepat berlalu, ketika kita bersama.
Ucapkan sesuatu lewat bibir pualam mu.” katamu menggoda. Dia selalu memuji
bibirku sebagai pualam. Aku tidak pernah melihat pualam, tapi aku tahu itu adalah
sesuatu yang indah. Tentu saja aku senang mendengar nya.
Matamu menatap tajam. Tatapan yang bersama senyuman itu, menjajah
pikiranku sebelum tidur. Dan datang lagi dipagi harinya, membangunkan tidur ku.
“Aku tidak tahu mau ngomong apa, Kak.”
“Ya sudah, Han. Kumpulkan cerita nya buat besok. Kita nikmati
saja angin malam dan suara daun sepuasnya”
Lalu, kau menggapai telapak tanganku dan kita saling menggenggam
tangan, bersandar di pagar pembatas rel kereta api. Didepan kita, rumpun pohon
bambu menatap iri. Aku merasa seperti berada di surga. Kereta api lewat. Artinya sudah lebih dari
pukul delapan malam. Saatnya kembali ke keramaian. Mama dan Papa pasti sudah
menunggu.
***
Kak Fajar adalah murid pintar di sekolah. Dia langganan juara
kelas. Saat ini dia kelas 3 SMP, sedangkan aku kelas 1. Kami menjalani kisah
cinta yang kepagian, cinta anak SMP. Cinta monyet barangkali, bodo amat,
apa pun namanya. Aku hanya mengikuti irama hati. Suara hati adalah suara Tuhan.
Begitu kata Guru Agama ku dulu.
Semua berawal ketika di masa orientasi SMP. Kak Fajar, sebagai ketua OSIS, sibuk sebagai
panitia di berbagai acara penyambutan Karenanya dia cukup populer di kalangan
anak-anak baru kelas1, termasuk aku.
Aku tinggal sekitar 10km dari sekolah ini. Pulang pergi naik
angkot. Jaman itu di daerah kami, kebanyakan
anak sekolah ya naik sepeda genjot, atau angkot. Segelintir anak naik sepeda motor.
Siang itu sepulang sekolah seperti biasa aku dan Tami naik
angkot. Tami adalah teman sebangku ku, dan rumah kami berdekatan.
“Halo Hani. ” aku terkejut, ternyata Kak Fajar naik angkot yang
sama. Dan dia tahu nama ku.
“Halo juga Kak” ujar ku.
“Lho Kakak juga naik angkot jurusan yang sama ya. Berarti rumah kita
deketan dong” Tami menimpali dengan
semangat.
“Iya lah, masa Kak Fajar naik angkot cuman buat nganter
kita.” kata ku, dan kita tertawa bersama.
Selanjutnya kita beberapa kali pulang satu angkot. Saling
bertukar pandang.
“Kak, nanti siang main dong. Aku tunggu di rumah Hani ya, jam 2”
Tami teman sebangku ku ini pro-aktif banget anaknya. Aku dan Tami memang ingin mengajak Kak Fajar
main bareng ke rumah. Sepertinya anaknya asik, cool. Lagian kan bisa
belajar bareng juga.
Itu awal Kak Fajar main ke rumah ku. Kami selalu ketemuan bersama di ruang tamu
rumahku. Dari jam 2 sampai jam 4 atau 5 sore. Sampai
Mama ku kembali dari toko.
“Waduh Mama mu pulang Han, aku takut nih “ kata mu saat itu.
“Gak pa pa kok.”
“Aku harus panggil dia apa nih”
“Panggil aja Mama.” Kataku iseng sambil tertawa melihat
Kak Fajar canggung begitu.
“Cieeee..” Tami menggoda.
Aku baru sadar salah bicara.
“Selamat sore, Tante.”
Ternyata kamu cukup sigap mengatasi rasa canggung itu. Dan
untung tidak mengikuti candaan ku. Mama
ku hanya tersenyum dan mengangguk, dan berjalan ke dapur.
“Ujian pertama lewat” katanya setelah itu dengan lega.
“Tenang saja kak, Mama ku baik kok. Nanti juga biasa.”
Sampai suatu saat, sebelum pulang, tanpa sepengetahuan Tami, Kak
Fajar menitipkan surat.
“Baca nya nanti ya” katanya, sambil tersenyum.
Perasaan ku tidak jelas, penasaran. Tetapi terbesit rasa hangat di
hati ini.
Sore itu, setelah makan malam,
kubuka surat itu di dalam kamar. Suratnya dilipat dengan rapi. Bentuk
lipatannya persegi panjang, dengan ujung kertas dijepitkan di ujung yang satu.
Terkunci, tanpa dilem. Darimana Kak Fajar belajar melipat seperti ini, bagus
sekali. Kertas nya harum pula.
Kulihat tulisan tangannya dengan tinta warna biru. Aku tahu dia
menulis dengan hati. Tidak ada salah tulis, tidak ada hapusan tip ex.
“Dear Hani,
Sejak melihat mu di pekan orientasi saat itu, Kakak dihinggapi
perasaan aneh. Ditambah lagi sering ketemu kamu, di angkot, dan dirumahmu. Sepertinya jiwa Kakak terperangkap di
kedalaman matamu. Senyum bibir pualam mu menyandera pikiran Kakak. Ketika tidak
dengan mu, gelombang rindu membara di dada.
Kakak suka sama kamu.
Kak Fajar”
Aku merasakan malam itu seluruh alam raya bergembira, menyanyi
bersamaku. Aku tidak sabar menunggu hari esok. Sebetulnya yang dituliskan Kak
Fajar juga mewakili isi jiwaku.
Selanjutknya hari-hari indah kami lalui. Hampir setiap hari,
kecuali saat ujian sekolah Kak Fajar selalu datang dengan sepeda jengki warna
biru nya, main ke rumah, untuk melewatkan waktu, merajut kebahagiaan. Tami
merasakan ada hal yang istimewa dalam hubungan Kak Fajar dengan ku. Dia turut
senang, sekaligus memberi waktu lebih banyak untuk kami.
Waktu selalu terasa cepat ketika kami bersama. Semua kenangan
itu seperti puisi paling indah yang pernah ada.
***
Pukul 2 siang, aku berdiri di pintu rumahku menunggu Kak Fajar.
Pintu rumah ku terdiri dari 2 bagian, atas dan bawah, Pintu bagian bawah
setinggi dada, aku menyilangkan kedua tangan ku bersender diatas pintu ini,
memandang ke ujung jalan di sisi kiri, menunggu mu.
Dan kau tidak pernah ingkar janji.
“Gimana Han, tadi bisa
tidak ulangannya ?”
“Bisa dong Kak. Siapa dulu yang ngajarin “
“Han, selesai SMP, Kakak kemungkinan akan melanjutkan SMA di
kota lain. Mau cari sekolah yang lebih baik, dan supaya lebih mandiri. Menyiapkan
masa depan yang lebih baik. Hanya saja setiap kali memikirkan hal itu, Kakak
merasa seperti berada di lembah sunyi yang dikelilingi tebing tinggi, dikungkungi
langit gelap”
Aku terdiam. Badan ku menjadi lemas, semangatku terbang.
“Kemana, Kak ?” suara ku nyaris tak terdengar. Aku ingin membeli
rantai besar dan mengikatmu erat disampingku, selamanya.
“Kita masih bisa surat-suratan kan” kata mu.
“Iya sih. Tapi kehadiran Kakak tidak bisa digantikan oleh secarik
surat.”
“Iya, sama, Han. Kamu tahu kan, setiap liburan, saat kamu harus
ikut Mama Papa mu ke rumah Oma di Jakarta, itu saja sudah siksaan buat Kakak.
Tidak bisa ketemu, ngobrol. Tidak tahu kabar. Apa lagi ini.”
Aku memang selalu diajak Papa Mama bersama adik ku, liburan ke
rumah Oma Opa di Jakarta ketika liburan. Tidak ada pilihan bagiku selain ikut.
Karena yang lain ikut semua dan aku tidak mungkin tinggal sendirian di rumah.
Sebetulnya itu juga berat buat ku.
“Tapi ini penting untuk masa depan nanti. Aku ingin menjadi
orang yang berhasil, dan berguna, Han. Aku cukup bersyukur mengalami semua
keindahan bersama mu. Jalan kita masih Panjang. Kita masih diam di bumi yang
sama. Kita masih bisa bertemu lagi, dan melanjutkan cerita ini.”
Aku hanya terdiam. Mungkin yang dia katakan benar. Melanjutkan
cerita ini? Aku tidak tahu. Kata Mama ku, jalan kehidupan itu rumit dan sulit diduga
ujungnya. Apa yang kita rencanakan belum tentu terjadi. Apa yang terjadi, belum
tentu yang kita rencanakan. Sore itu, pelangi di langit jingga tidak mampu
mengembalikan semangatku.
Tanggal 22 Juli 1988 – Aku menerima surat pertama yang kau
kirimkan dari kota mu.
|
DI Panjaitan, dekat Prapatan Tumpuk |